SuaraKupang.com – Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, utang pemerintah masih dalam batas aman. Apalagi kebijakan pembiayaan pemerintah selalu diawasi oleh DPR.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan defisit APBN dan keseimbangan primer sampai akhir Mei 2021 mencapai Rp 219,3 triliun dan Rp 67,6 triliun.
Hingga akhir Mei 2021, realisasi pembiayaan utang tercapai sebesar Rp 330,1 triliun atau 28%, terdiri atas realisasi SBN (Neto) sebesar Rp 348,0 triliun dan realisasi pinjaman (neto) sebesar negatif Rp 17,9 triliun, sementara kontribusi Bank Indonesia sesuai dengan SKB I mencapai Rp 116,26 triliun.
“Kalau pandangan BI dengan rasio terhadap PDB, utang pemerintah masih relatif aman. Manajemennya juga cukup prudent karena semua penambahan utang itu kan termasuk defisit fiskal dan sudah disetujui parlemen,” kata Perry pada acara Focus Group Discussion (FGD) Bank Indonesia dengan para Pemimpin Redaksi Media Massa secara virtual, Senin (29/06/2021).
Untuk mengendalikan utang, lanjut Perry, penerimaan pajak harus ditingkatkan dan pengeluaran harus diturunkan. Namun saat ini pemerintah sedang melakukan belanja dalam jumlah besar untuk penanganan pandemi Covid-19.
BI juga memberikan dukungan untuk pemenuhan pembiayaan utang dalam pelaksanaan lelang SBN lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan skema burden sharing SKB II di tahun 2020. Lewat SKB I, pembelian SBN oleh BI menyentuh angka Rp 75,86 triliun dan lewat skema SKB II, pembelian SBN oleh BI tercatat sebesar Rp 397,56 triliun untuk pembiayaan public goods dan Rp 177,03 triliun untuk pembiayaan non public goods.
“Sehingga untuk Rp 397 triliun ini utang tetapi zero cost bagi pemerintah ini adalah dukungan dari kami juga,” jelasnya.
Secara terpisah, Kepala Food Center Sustainable Food Development Indef Abra Talattov mengatakan, pertumbuhan belanja negara yang agresif di tengah penerimaan perpajakan yang rendah mengakibatkan defisit APBN terus melebar. Implikasinya, beban APBN untuk membayar bunga utang semakin tinggi. Hal itu terefleksikan dari proporsi belanja bunga utang terhadap penerimaan perpajakan yang pada tahun 2014 hanya 11,1% terus membengkak menjadi 17,4% pada 2020.
“Bahkan kondisi APBN semakin berisiko karena beban bunga utang semakin menjadi parasit bagi APBN,” ucapnya.
Dia mengatakan, ongkos bunga utang yang semakin menggerus APBN yang pada gilirannya berdampak terhadap alokasi belanja yang urgen untuk hajat hidup rakyat seperti belanja modal, belanja subsidi, dan belanja bantuan sosial. Ketiga, belanja tersebut porsinya terhadap penerimaan pajak jauh lebih kecil dibandingan porsi belanja bunga utang.
“Jadi fungsi APBN untuk siapa? Apakah untuk masyarakat secara langsung melalui belanja modal maupun belanja subsidi? Atau untuk para penikmat utang pemerintah baik pemilik SBN maupun investor asing,” paparnya.
Photo Credit: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengusap mukanya saat menyampaikan konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (21/02). ANTARA/Sigid Kurniawan