SuaraKupang.com – Direktur Jenderal Pajak Periode 2001-2006, Hadi Poernomo mengatakan penerapan Single Identity Number (SIN) Pajak dapat memberikan solusi konkret dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan di indoesia. Melalui konsep link and match SIN Pajak, DJP akan dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan.
“SIN Pajak memberikan solusi konkret dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan. Dengan menggunakan konsep link and match SIN Pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan. SIN Pajak mampu menyediakan data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya,” ungkap Hadi Poernomo dalam sebuah diskusi Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak Demi Kemandirian Fisklan Indonesia, Jumat (28/5).
Lanjut Hadi uang atau harta baik dari sumber legal maupun ilegal selalu digunakan dalam 3 (tiga) sektor, yaitu konsumi, investasi, dan tabungan. Sektor-sektor tersebut wajib memberikan data dan interkoneksi dengan sistem perpajakan.
Artinya uang dari sumber legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara utuh dalam SIN Pajak. Wajib Pajak (WP) yang menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke DJP dan SIN Pajak akan memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT. Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP. Sehingga WP akan patuh dan jujur melaksanakan kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah penghindaran kewajiban perpajakan.
“Penelitian ini disusun secara ilmiah sejak September 2019 sampai ujian tertutup kandidat doktor ilmu hukum Maret 2021. Secara umum strategi optimalisasi penerimaan adalah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Dalam perwujudan optimalisasi penerimaan tersebut diperlukan adanya sebuah transparansi perpajakan,” kata Hadi.
Ia juga mengungkapkan Indonesia adalah negara sangat kaya baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), jika Indonesia di optimalkan Indonesia dapat mencapai kesejahteraan, namun faktanya Indonesia masih belum sejahtera. Salah satu buktinya adalah, tax ratio Indonesia kurun waktu 8 tahun terakhir hanya satu digit, dibandingkan standar Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 15%.
Sebetulnya Konsep transparansi Pajak di Indonensia lahir tahun 1965 dimana Bung Karno mengeluarkan Perpu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Konsep tersebut dibangun kembali secara lebih modern dengan menggunakan IT dengan nama SIN Pajak sejak 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Keputusan Bersama KepBer) Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001 yang kemudian dituangkan dalam UU 19/2001 pada November 2001. Hasilnya adalah tax ratio Indonesia mengalami peningkatan sampai dengan lebih dari 12%. Pada tahun 2004 tercatat tax ratio Indonesia sebesar 12,3% dan tahun 2005 tax ratio Indonesia mencapai 12,5%.
Lalu pada Juli 2007, DPR mengesahkan UU 28/2007 dimana SIN Pajak diatur dalam Pasal 35A yang memberikan pengaturan bahwa adanya kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak lain wajib untuk saling membuka data non rahasia baik yang finansial/non finansial dan interkoneksi dengan sistem perpajakan DJP.
Melalui Perpu 1/2017 Presiden Joko Widodo mengatur secara khusus mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI yang kemudian pada Agustus 2017 disahkan oleh lembaga legislatif melalui UU 9/2017. UU ini menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU yang belum dapat dihapuskan oleh UU 28/2007.
Namun pemberlakuan SIN Pajak dirasa masih memiliki beberapa hambatan. Pertama, KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplifikasi) antar departemen yang kurang berfungsi. Kedua, adanya regulasi-regulasi lain yang memberikan ketentuan kerahasiaan, antara lain Keppres Nomor 68/1983 tentang Deposito, SK Direksi BI Nomor 27/121/KEP/DIR tentang Penyampaian NPWP dan LK dalam Permohonan Kredit, UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, UU Nomor 10/1998 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dan UU Nomor 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa. Ketiga, adanya inkonsistensi regulasi. Keempat, adanya anggapan bahwa SIN Pajak merupakan data mati dan mahal.
Photo Credit : Ilustrasi pajak /Doc/Ist