Sudah Sering Diprotes, Draf Terbaru RUU KUHP Pertahankan Pasal Penghinaan Presiden


Draf Terbaru RUU KUHP Masih Pertahankan Pasal Penghinaan Presiden

Ilustrasi proses persidangan di Indonesia. Foto oleh Barcroft Media via Getty Images

Naskah terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kembali beredar di media massa. Detik.com menjadi salah satu media pertama yang memperoleh draf RUU KUHP terbaru. Menurut keterangan redaksi, mereka mendapatkannya setelah draf dibagikan kepada peserta sosialisasi RUU KUHP di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (3/6). Di dalamnya ditemukan bahwa pasal-pasal pidana untuk penghina presiden dan wakil presiden tak diubah sama sekali.

Aturan itu tercantum dalam Pasal 218-220. Setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden di muka umum dipidana paling lama 3,5 tahun atau denda maksimal Rp200 juta, demikian atur Pasal 218 ayat 1. Pasal 218 ayat 2 mengecualikan hukuman itu bagi orang yang menghina presiden/wapres untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 melarang setiap orang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan, memperdengarkan, atau menyebarluaskan tulisan, gambar, atau rekaman yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres, baik dengan cara konvensional maupun lewat teknologi informasi. Jika melanggar, hukumannya lebih tinggi, yakni penjara paling lama 4,5 tahun atau denda maksimal Rp200 juta.

Pasal 220 ayat 1 dan 2 pun masih serupa, mengatur bahwa pidana Pasal 218-219 adalah delik aduan (hanya bisa diproses setelah ada aduan dari pihak yang dirugikan) dan bahwa aduan itu bisa disampaikan presiden/wapres secara tertulis. Dibandingkan dengan draf yang dipublikasikan pada 2019, tak ada perubahan redaksional sama sekali pada pasal-pasal ini.

Padahal aturan ini termasuk dalam daftar pasal kontroversial yang ditolak dalam demo besar September 2019. Saat itu pakar hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana, saat diwawancarai Tirto mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa pasal-pasal tersebut akan membuat presiden/wapres berhadap-hadapan dengan masyarakat. Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga mewanti-wanti potensinya menjerat pers yang kritis, selain mengingatkan bahwa pasal ini warisan KUHP era penjajahan.

Aturan semacam ini memang pernah ada dalam hukum ini, sempat tercantum dalam KUHP Pasal 134, 136 bis, dan 137. Bahkan Pasal 134 dan 137 tampaknya menginspirasi Pasal 218 dan 219 di RUU KUHP saat ini karena mirip secara redaksional.

Namun, ketiga pasal lama itu telah dihapus Mahkamah Konstitusi ketika mengabulkan judicial review pada 2006. Pengajunya adalah aktivis Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis yang saat itu tengah dijerat pasal tersebut.

Bagaimana Eggi dikenai pasal penghinaan presiden dan akhirnya dipidana, bahkan vonisnya sudah dikuatkan hingga tahap Mahkamah Agung, bermula pada Januari 2006.

Saat itu Eggi datang ke kantor KPK untuk menyampaikan adanya rumor bahwa dua jubir Presiden SBY, satu sekretaris kabinet, dan putra SBY telah menerima suap berupa mobil Jaguar dari pengusaha Hary Tanoesoedibjo. Rumor itu juga Eggi sampaikan kepada wartawan yang menunggunya di kantor KPK. Ucapan kepada wartawan itulah yang membuatnya dijerat pasal penghinaan presiden, yang saat itu merupakan delik biasa.

Eggi hanya salah satu dari banyak aktivis yang dijerat sebelum pasal ini dihapus. Pada 2011, pakar hukum tata negara Taufiqurrohman Syahuri menyebut hanya Habibie dan Gus Dur, presiden yang tak pernah menggunakan pasal penghinaan presiden. Di masa Presiden Jokowi, sejumlah orang ditangkap atas tuduhan menghina presiden di internet menggunakan UU ITE Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati pada 2019 lalu mencurigai motif dihidupkannya aturan represif ini. “Intinya DPR dan presiden bersiap-siap agar bisa menjadi penyelenggara negara yang otoriter secara aman,” ujarnya kepada Sindonews.

Tahun 2019 bukan tarikh tertua munculnya protes pada pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Sebagai informasi, rancangan hukum ini memang mangkrak, tak kunjung selesai sejak mulai dibahas pada 1963. Protes sudah bermunculan sejak Maret 2013, ketika publik mulai mengetahui pasal tersebut hendak dihidupkan kembali lewat RUU KUHP.

“Tindakan-tindakan yang dianggap bagian dari defamasi tidak kontekstual lagi ketika diberikan hukuman pidana. Sejumlah negara justru sudah mencabut pasal-pasal penghinaan ini. Inggris yang merupakan salah satu negara tertua dengan pasal defamasi pun sudah mencabutnya. Kenapa kemudian Indonesia justru ingin lebih represif dalam konteks penerapan pasal ini,” kata Wahyudi Djafar dari ELSAM kepada VOA Indonesia, Maret 2013.

Bahkan lembaga yudisial turut mengingatkan pemerintah dan legislatif bahwa aturan yang sudah dibatalkan MK tak boleh dimunculkan kembali. “Dalam upaya pembaruan KUHP, MK menyatakan tidak boleh lagi ada norma-norma yang serupa dengan Pasal 134, 136, 137 KUHP,” ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada CNN Indonesia, Februari 2018. Namun, Fajar juga menjelaskan pihaknya tak dapat berbuat apa-apa jika DPR dan pemerintah bersikeras. Hanya saja akan ada risiko aturan tersebut digugat masyarakat.

Hingga hari ini belum ada penjelasan dari pemerintah maupun DPR RI, sebagai pengusul RUU KUHP, mengapa pasal penghinaan presiden tak berubah meski sudah diprotes. Yang jelas, pemerintah sadar aturan tersebut ditentang banyak pihak. Dalam diskusi publik dan sosialisasi RUU KUHP di Semarang, 4 Maret 2021, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemkumham Benny Riyanto mengatakan pemerintah tengah menyisir ulang 14 isu krusial dalam RUU KUHP yang menjadi keberatan masyarakat dan lembaga. Ia menyebutkan salah satunya adalah Pasal 218 tentang penghinaan presiden.

Informasi lain dari Benny, pada pertengahan tahun ini pemerintah berencana mengusulkan draf hukum ini masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Saat ini RUU KUHP sudah masuk di pembahasan tingkat II DPR RI. Inilah tahap terakhir sebelum nanti draf final dibawa ke rapat paripurna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *